Gelegar kemerdekaan baru saja kita nikmati. Perayaan dimana-mana sungguh menyiratkan sebuah bangsa dan sedang bergembira dan berbahagia menikmati arti kemerdekaan. Pun kemerdekaan juga mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang. Sungguh sayang, ternyata kemerdekaan tidak berarti merdeka dari kelangkaan barang kebutuhan pokok seperti minyak tanah dan minyak goreng akhir-akhir ini.
Sudah 2 hari ini minyak tanah menghilang dari pasaran, termasuk dari lingkungan tempat saya tinggal. Alhasil dari segelintir kios yang masih menyediakan minyak tanah, harganya sudah melambung Rp 5 ribu dari harga normal hanya Rp 2.600,- (harga naik 100%!!). Dalam banyak pemberitaan, kelangkaan ini terkait dengan program konversi BBM ke gas.
Saya tidak berpretensi mengatakan konversi minyak tanah ke gas itu buruk. Akan tetapi jika menganggap kesuksesan program ini hanya diukur dengan jumlah tabung gas yang diserap oleh pasar, itu adalah satu kesalahan. Dalam ekonomi, barang subsititusi adalah barang yang saling menggantikan karena utilitas yang diperoleh kurang lebih sama, seperti halnya minyak tanah dan gas. Yang terjadi ketika minyak tanah langka adalah orang mencari sumber energi alternatif seperti kayu bakar, tenaga matahari, briket batubara, gas LPG. Kayu bakar untuk konteks Jakarta sudah sulit diketemukan; apalagi tenaga matahari membutuhkan transfer teknologi tinggi; briket ketersediaannya masih dipertanyakan; termasuk pula gas LPG yang dalam program konversi ini disediakan dalam ukuran yang lebih kecil yaitu 3kg.
Selain persoalan distribusi dan ketersediaan infrastruktur pendukung program konversi gas, daya beli masyarakat khususnya menengah ke bawah harus menjadi perhatian. Salah satu alasan menggunakan minyak tanah adalah bisa membeli sampai eceran terkecil walaupun dari sisi harga ditanggung lebih tinggi. Saat ini gas yang tersedia hanya tabung 15kg dan baru-baru ini saja ada tabung ukuran 3kg, apa mungkin kita membeli gas 1kg saja? Ini problem lain dari sisi produksi dan biaya investasinya.
Pada masyarakat yang berada pada level transisi, pemilihan minyak tanah atau gas mereka cenderung indiferen. Artinya jika mereka saat ini masih setia dengan minyak tanah setiap saat mereka bisa melakukan konversi ke gas, dan masalah biaya konversi bukan lagi soal. Dalam program konversi sesungguhnya merekalah yang layak jadi target karena pada kelas masyarakat ini subsidi minyak sudah jelas salah sasaran.
Untuk konversi gas, saya melihat masih ada cara lain seperti pipanisasi gas ke lingkungan perumahan (Yang saya tahu sudah ada di lokasi tertentu di Bogor dan Surabaya). Secara finansial, konsumsi gas akhirnya memang jauh lebih murah dan untuk investor, target konsumen yang cukup besar akan menurunkan biaya produksi per unitnya. Dari sisi feasibility, langkah ini lebih baik dan mencakup area yang lebih luas serta cocok juga untuk masyarakat menengah ke bawah. Bandingkan dengan pemakaian tabung gas yang (1) mahal; (2) tersedia ukuran tertentu saja; (3) tentu saja hanya menguntungkan pabrik pembuat tabung.
baca juga beberapa alasan kenapa saya (belum) memakai gas.
Sunday, August 19, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
pertamax..
salam kenal
Post a Comment