Sunday, January 28, 2007

Interpretasi Hasil Analisa Kuantitatif dari Ilmu Ekonomi:

Kesombongan, Percaya Diri, Kejujuran atau Strategi?

Oleh: Dhaniel Ilyas

Kalau kita memulainya dari sudut pandang objek ilmu, terlihat bahwa di dalam ilmu sosial terdapat sebuah permasalahan abadi: ketidakmungkinan mengeneralisasi secara sempurna tingkah laku manusia dari sudut pandang yang paling mikro maupun (interaksi) makro. Ilmu ekonomi sebagai salah satu bagian dari ilmu sosial pun tidak lepas dari hal ini. Kecanggihan dari teknologi memungkinkan kita untuk menggunakan metode-metode analisa yang lebih ‘keras’ dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu matematik. Ekonometri merupakan salah satu dari cabang ilmu yang mengkhususkan dirinya pada analisa kuantitatif dari data-data ekonomi yang seiring dengan berjalannya waktu semakin mengkristal manjadi sebuah cabang ilmu yang mapan. Ekonometri dalam kesejarahannya bisa dibilang sebagai cabang ilmu yang masih ‘muda’ namun memegang peranan yang cukup penting dalam perkembangan ilmu ekonomi.

Hampir sebagian besar dari analisis ekonomi baik yang di jurnal akademis maupun analisis kebijakan riil menggunakan metode ekonometri. Analisis dengan menggunakan ‘common sense’ dari teori-teori ekonomi sering dianggap kurang kuat sebagai dasar analisis karena tidak mempunyai dasar empirik yang kuat. Ketersediaan data membuat para ekonom mampu menampilkan analisis-analisis ‘canggih’ yang didasarkan kepada data-data riil dengan menggunakan metode-metode ekonometrik. Menariknya, hasil-hasil analisis yang didasarkan kepada metode-metode ekonometrik dan kuantitatif lainnya ini dalam proses dan penyajiannya dipengaruhi oleh sudut pandang sang peneliti.

Setelah melalui proses analisis dari tahap pengambilan data, membuat proksi data, pembentukan model sampai menjalankan program software ekonometri dan analisis hasil, ditemukanlah model yang dianggap paling efisien secara teoritis. Seringkali setelah kita melihat output yang dihasilkan dari model-model ekonometri tersebut hipotesa awal kita tidak terpenuhi secara sempurna. Terdapat sebagian peneliti yang mencari ‘akal’ agar hasil dari permodelan ekonometri mereka sesuai dengan insting ‘common sense’ yang mereka percayai. Cara-cara mereka ada yang masih di dalam koridor teori-teori ekonometri dan ada pula yang sudah di luar itu dengan memodifikasi sedemikian rupa data yang mereka punya. Ada yang melakukan modifikasi data yang masih di dalam koridor yang dianggap layak dan ada pula yang berusaha menerapkan ‘jalan-jalan’ keras untuk men-fit-kan ‘kepercayaan’ mereka akan sebuah hipotesis tertentu. Ini menimbulkan pertanyaan yang mendasar dari analisis kuantitatif yang kita lakukan ini. Sejauh manakah validasi dari angka-angka tersebut?

Di sisi lain jika seorang peneliti beruntung menemukan sebuah model yang dengan mudah mendukung hipotesis yang mereka percayai, timbulah kepercayaan diri yang tinggi akan analisa yang dihasilkan dan alih-alih ada yang menjadi sombong akan ‘kehebatan’ hasil-hasilnya. Sombong disini berbeda dengan percaya diri. Yang sombong adalah yang merasa memiliki model ekonometri yang paling hebat dalam menghasilkan angka-angka proyeksi maupun simulasi. Hasil-hasilnya seakan-akan menjadi ‘dewa’ dalam pandangan mereka. Dalam pengamatan saya terdapat beberapa ekonom yang dengan menggebu-gebu mempromosikan hasil perhitungannya bahwa variabel ekonomi yang mereka teliti akan mempunyai kepastian dalam mengikuti sebuah ‘tingkah laku dan besaran proyeksi’ tertentu. Seringkali apa yang mereka katakan terbukti bertolak belakang dengan kenyataan yang ada dan orang-orang menjadi lupa akan apa-apa yang mereka katakan dan perdebatkan di publik. Kesalahan seorang dokter dalam menganalisa gejala-gejala yang ada pada seorang pasien akan menghasilkan efek fatal yang dengan mudah terlihat dimana kesalahan seorang ekonom seakan-akan terlupakan dan termaafkan begitu saja.

Kita tidak boleh lupa bahwa hasil-hasil analisa kuantitatif itu hanyalah merupakan ‘kecenderungan’ saja dan merupakan alat untuk membantu pengambilan keputusan. Dalam praktek kita harus mampu menggunakan informasi ini dengan bijaksana. Kepercayaan akan hasil analisis kuantitatif yang baik dapat saja digunakan untuk men-drive ekspektasi para pelaku ekonomi sesuai dengan arah yang kita inginkan dan begitu pula jika kita menghasilkan hasil buruk, hal itu dapat dijadikan ‘signal’ agar kita menjadi berhati-hati. Seyogyanya kita perlu kerendahan hati dalam membicarakan hasil-hasil kuantitatif ini di hadapan publik. Inilah yang dimaksud pula dari sebagian artian ilmu ekonometri sebagai ‘arts’. Kita memerlukan strategi yang matang dalam menampilkan hasil-hasil analisa kuantitatif yang kita lakukan. Seperti seorang ekonom yang mengambil keputusan untuk tidak menampilkan proyeksi yang overconfidence maupun yang underpotential. Hal ini juga bisa terkait ke dalam konstelasi perpolitikan yang merespons angka-angka tersebut sesuai dengan kepentingan masing-masing. Disini terlihat bahwa analisis kuantitatif dalam prakteknya amat terpengaruh dengan sudut pandang sang peneliti dan bahkan interest politik yang berkepentingan. Kita dapat memplesetkan judul buku Gunnar Myrdal yang terkenal menjadi ‘the political element in the development of applied econometrics’.

Seringkali terjadi perdebatan yang tidak kunjung usai di antara para ekonom akan ‘kepercayaan’ mereka masing-masing. Jadi dimana letak tanggung jawab intelektual dan kejujuran hati nurani kita dalam hal ini? Apa yang harus kita lakukan? Secara pribadi dan sebagai seseorang yang mempelajari ilmu ekonometri itu sendiri menurut saya titik awalnya adalah dengan mendudukkan diri kita sebagai seorang ekonom (dan atau ahli ekonometri) yang jujur dan rendah hati. Pre-hipotesis dalam meneliti adalah perlu dan jika hasil yang kita hasilkan tidak ‘make sense’, usaha pencarian hasil model ekonometri yang sesuai dengan ‘common sense’ dan insting kita harus tetap di dalam koridor kaidah-kaidah teori ekonometri yang baku. Jika tidak bisa juga tercapai, kita harus mau jujur mengakui bahwa pre-hipotesis kita tidak memiliki bukti yang kuat dan mengikutkan kemungkinan adanya penjelasan teori ekonomi lain yang lebih baik. Juga harus disadari sepenuh-penuhnya bahwa hasil-hasil ekonometri itu hanyalah ‘kecenderungan’ dan tidak lepas dari tataran konsep ‘probabilita’. Seringkali pula penggunaan metode ekonometri yang hebat dengan teknik algoritma canggih dan sebagainya seakan-akan mengukuhkan hasil yang ‘hebat’. Ini dapat membawa kita kepada kesalahan dalam pengambilan kesimpulan! Ingatlah bahwa ekonometri hanyalah ‘alat bantu’ untuk pengambilan keputusan ataupun analisis ekonomi secara keseluruhan dengan mempertimbangkan pula aspek-aspek lainnya.

Marilah kita menjadi seorang ekonom (dan ahli ekonometri) yang jujur, rendah hati dan bijaksana dalam mempresentasikan hasil-hasil analisis kita dengan tetap berlapang dada akan kemungkinan kesalahannya dan adanya penjelasan yang lebih baik.”

Saturday, January 20, 2007

Don’t listen to economists if you want to beat the market

by Berly


I just come across an article in recent issue (may need subscription) of The Economist where:

"... according to preliminary numbers from the National Association of College and University Business Officers (NACUBO) and TIAA-CREF, a financial-services group, university endowments made an average return of 10.7% in the year to June 30th 2006, net of fees and expenses.

Keep in mind that US has low inflation and low interest rate, thus ten percent is quite high rate of return. Elite universities received a lot of donation and endowment from their alumni (do you know there is a Liem Sioe Liong Chair in Wharton Business School that Anthony Salim attended?)

Harvard and Yale have some $50 billion, but it is MIT that excel in giving a run for the money. The engineering institute get 23 % return on investment, winning by a nose from Yale (29,9%)

Top US University certainly have the brainpower (read: top economists prof) to manage the hefty fund they received from wealthy alumni, right?

Wrong!

…Alumni with Wall Street experience are encouraged not only to donate money but also to sit on investment committees … The brainpower on tap at the university itself is not always as useful. According to one former Harvard official, its endowment fund has done so well because it has avoided taking advice from the economics faculty

There you have it folks. It is either we need to look for alternative to efficient market hypothesis, the mainstream thought in finance, or you should not listen to economists for financial advice in the first place.

Monday, January 01, 2007

Welcome 2007!

As we wrap up 2006 and move onward to 2007, KaFE depok wish a Happy New Year 2007 to all of you - friends and readers.