Kontroversi seputar impor beras kembali meruncing setelah pemerintah mengambil
keputusan impor beras. Kita mempertanyakan kelayakan pertanian, khususnya padi
di Indonesia. Ada dua faktor, yaitu kondisi pasar beras dunia dan perlindungan
sosial yang dibangun melalui good governace, membentuk cara pandang terhadap
masa depan padi di Indonesia.
Pertama, struktur pasar beras di level international dimana Indonesia adalah
salah satu negara pengonsumsi beras terbesar. Ekspansi beras sebagai makanan
pokok sangatlah kuat walaupun di beberapa wilayah di Indonesia Timur
masyarakatnya mengonsumsi umbi-umbian. Beras, secara sosiologis, kemudian
identik sebagai simbol kemakmuran.
Produksi padi Indonesia menyumbang 8,5% dari total produksi dunia. Pada saat
yang sama, impor beras kita menyumbang 13,5% dari produksi dunia. Bandingkan
dengan Bangladesh dengan kontribusi produksi sekitar 3,4% tetapi mengimpor 4,5%
dari total produksi dunia. Hal ini mengindikasikan kebutuhan pangan kita masih
berada dalam keadaan siaga. Jika produksi beras dunia tidak mencukupi, bencana
kekurangan pangan di dalam negeri bukan suatu kemustahilan.
Dalam konteks global, ketersediaan beras sesungguhnya lebih dari mencukupi,
yaitu 21,8 metrik ton (MT), sedangkan permintaan beras untuk impor hanya 8,5
MT. Berdasarkan hitungan di atas kertas, tidak ada masalah antara ketersediaan
beras dan permintaannya. Namun terlihat dalam perbandingan jumlah negara
pengekspor dan importir beras bahwa struktur pasar beras dunia sangat rentan.
Solusi Jangka Pendek
Amerika Serikat, Thailand, India, Vietnam, China dan Pakistan adalah 6 negara
pengekspor beras utama sedangkan negara importir lebih banyak yakni Uni Eropa,
Brasil, Iran, Saudi Arabia, Bangladesh, Federasi Rusia, China, Jepang, dan
Indonesia.
Oleh karena itu dalam keadaan misalnya bencana alam, perang saudara menimpa
salah satu negara pengekspor, kehadiran pemain impor baru akan mempengaruhi
ekspektasi harga internasional terhadap permintaan yang tiba-tiba ini. Alhasil,
harga beras akan melonjak tajam sehingga mudah diduga dampaknya terhadap
pemenuhan pangan nasional. Harganya akan naik dan menimbulkan krisis baru
akibat merosotnya cadangan devisa yang dipakai untuk impor.
Pada masa Orde Baru, beras digunakan sebagai alat stabilisasi sosial politik.
Disediakan dengan harga murah demi menekan kerawanan sosial di tingkat bawah.
Pada saat yang sama petani mendapat subsidi sebagai insentif berproduksi. Pasca
krisis ekonomi 1997, pemerintah mencabut berbagai macam subsidi yang berkaitan
dengan pertanian.
Lalu lembaga seperti Bulog yang awalnya berperan sebagai stabilisator, tidak
bisa berbuat banyak menghadapi harga beras yang berfluktuasi. Solusi yang
ditawarkan akhirnya lebih bersifat jangka pendek dan mengikuti mekanisme pasar,
yakni impor beras.
Impor sebagai solusi akhirnya menempatkan petani sebagai aktor yang paling
rentan. Ini bisa dipahami sebagai proses interaksi antarkomponen yang
menyebabkan manusia berada dalam keadaan terancam jiwanya. Dalam jangka panjang
interaksi ini membentuk berbagai tingkat kesiapan menghadapi bencana.
Wisner et.al.(2003) mendefinisikan komponen tersebut, yaitu kekuatan dan
ketahanan mata pencarian, kondisi dan kesejahteraan sosial, perlindungan diri
sendiri, perlindungan sosial dan tata pemerintah yang baik (good governance).
Pemerintah Gagal
Mata pencaharian merupakan perlindungan dasar yang dimiliki dalam skala rumah
tangga dan jangka pendek. Posisi petani masih sangat rawan terutama jika
terjadi perubahan kebijakan pemerintah. Perlindungan sosial adalah tanggung
jawab pemerintah karena mencakup skala yang lebih luas. Fakta di lapangan
menunjukkan pemerintah telah gagal memberikan perlindungan kepada petani.
Sebab, kebijakan impor beras sama saja dengan mematikan ruang gerak petani.
Sebagai syarat tercapainya perlindungan sosial tadi, dibutuhkan political will
dan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik. Pada titik ini, belum ada kemauan
untuk sungguh-sungguh memperbaiki sektor pertanian. Kebijakan impor beras
benar-benar bertolak belakang dengan pencanangan program revitalisasi
pertanian, perikanan dan kehutanan.
Keterbukaan proses pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan. Bulog dapat
dikatakan telah melakukan kebohongan publik menyangkut proses pengiriman beras
impor dari Saigon. Walaupun akhirnya pengiriman ini dibatalkan, hal ini
mengandung implikasi ada aktor kuat yang berideologi pasar sedang bermain-main
dengan nasib petani.
Dengan kata lain, celah-celah kelemahan institusi dalam mengatur pasar dapat
dimanfaatkan untuk memuluskan kerja sama demi mengeruk keuntungan pribadi. Masa
depan pertanian padi di Indonesia tetap relevan terutama dikaitkan dengan
konteks perubahan global. Ketersediaan stok di pasar internasional bukan
jaminan kebutuhan nasional terpenuhi.
Produksi beras dalam skala gobal ditentukan oleh banyak faktor yang sama sekali
di luar kendali kita. Yang mungkin dan mampu kita kendalikan adalah memperkuat
determinan ketersediaan beras dalam negeri. Ketimpangan akses terhadap lahan
dan persoalan alih fungsi lahan pertanian merupakan agenda panjang yang harus
dipecahkan bersama.
Daripada mengimpor beras, pemerintah lebih baik memperbaiki distribusi faktor
produksi, terutama tanah dan menata rel kebijakan agar sejalan dengan program
revitalisasi pertanian, untuk mensejahterakan petani.
keputusan impor beras. Kita mempertanyakan kelayakan pertanian, khususnya padi
di Indonesia. Ada dua faktor, yaitu kondisi pasar beras dunia dan perlindungan
sosial yang dibangun melalui good governace, membentuk cara pandang terhadap
masa depan padi di Indonesia.
Pertama, struktur pasar beras di level international dimana Indonesia adalah
salah satu negara pengonsumsi beras terbesar. Ekspansi beras sebagai makanan
pokok sangatlah kuat walaupun di beberapa wilayah di Indonesia Timur
masyarakatnya mengonsumsi umbi-umbian. Beras, secara sosiologis, kemudian
identik sebagai simbol kemakmuran.
Produksi padi Indonesia menyumbang 8,5% dari total produksi dunia. Pada saat
yang sama, impor beras kita menyumbang 13,5% dari produksi dunia. Bandingkan
dengan Bangladesh dengan kontribusi produksi sekitar 3,4% tetapi mengimpor 4,5%
dari total produksi dunia. Hal ini mengindikasikan kebutuhan pangan kita masih
berada dalam keadaan siaga. Jika produksi beras dunia tidak mencukupi, bencana
kekurangan pangan di dalam negeri bukan suatu kemustahilan.
Dalam konteks global, ketersediaan beras sesungguhnya lebih dari mencukupi,
yaitu 21,8 metrik ton (MT), sedangkan permintaan beras untuk impor hanya 8,5
MT. Berdasarkan hitungan di atas kertas, tidak ada masalah antara ketersediaan
beras dan permintaannya. Namun terlihat dalam perbandingan jumlah negara
pengekspor dan importir beras bahwa struktur pasar beras dunia sangat rentan.
Solusi Jangka Pendek
Amerika Serikat, Thailand, India, Vietnam, China dan Pakistan adalah 6 negara
pengekspor beras utama sedangkan negara importir lebih banyak yakni Uni Eropa,
Brasil, Iran, Saudi Arabia, Bangladesh, Federasi Rusia, China, Jepang, dan
Indonesia.
Oleh karena itu dalam keadaan misalnya bencana alam, perang saudara menimpa
salah satu negara pengekspor, kehadiran pemain impor baru akan mempengaruhi
ekspektasi harga internasional terhadap permintaan yang tiba-tiba ini. Alhasil,
harga beras akan melonjak tajam sehingga mudah diduga dampaknya terhadap
pemenuhan pangan nasional. Harganya akan naik dan menimbulkan krisis baru
akibat merosotnya cadangan devisa yang dipakai untuk impor.
Pada masa Orde Baru, beras digunakan sebagai alat stabilisasi sosial politik.
Disediakan dengan harga murah demi menekan kerawanan sosial di tingkat bawah.
Pada saat yang sama petani mendapat subsidi sebagai insentif berproduksi. Pasca
krisis ekonomi 1997, pemerintah mencabut berbagai macam subsidi yang berkaitan
dengan pertanian.
Lalu lembaga seperti Bulog yang awalnya berperan sebagai stabilisator, tidak
bisa berbuat banyak menghadapi harga beras yang berfluktuasi. Solusi yang
ditawarkan akhirnya lebih bersifat jangka pendek dan mengikuti mekanisme pasar,
yakni impor beras.
Impor sebagai solusi akhirnya menempatkan petani sebagai aktor yang paling
rentan. Ini bisa dipahami sebagai proses interaksi antarkomponen yang
menyebabkan manusia berada dalam keadaan terancam jiwanya. Dalam jangka panjang
interaksi ini membentuk berbagai tingkat kesiapan menghadapi bencana.
Wisner et.al.(2003) mendefinisikan komponen tersebut, yaitu kekuatan dan
ketahanan mata pencarian, kondisi dan kesejahteraan sosial, perlindungan diri
sendiri, perlindungan sosial dan tata pemerintah yang baik (good governance).
Pemerintah Gagal
Mata pencaharian merupakan perlindungan dasar yang dimiliki dalam skala rumah
tangga dan jangka pendek. Posisi petani masih sangat rawan terutama jika
terjadi perubahan kebijakan pemerintah. Perlindungan sosial adalah tanggung
jawab pemerintah karena mencakup skala yang lebih luas. Fakta di lapangan
menunjukkan pemerintah telah gagal memberikan perlindungan kepada petani.
Sebab, kebijakan impor beras sama saja dengan mematikan ruang gerak petani.
Sebagai syarat tercapainya perlindungan sosial tadi, dibutuhkan political will
dan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik. Pada titik ini, belum ada kemauan
untuk sungguh-sungguh memperbaiki sektor pertanian. Kebijakan impor beras
benar-benar bertolak belakang dengan pencanangan program revitalisasi
pertanian, perikanan dan kehutanan.
Keterbukaan proses pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan. Bulog dapat
dikatakan telah melakukan kebohongan publik menyangkut proses pengiriman beras
impor dari Saigon. Walaupun akhirnya pengiriman ini dibatalkan, hal ini
mengandung implikasi ada aktor kuat yang berideologi pasar sedang bermain-main
dengan nasib petani.
Dengan kata lain, celah-celah kelemahan institusi dalam mengatur pasar dapat
dimanfaatkan untuk memuluskan kerja sama demi mengeruk keuntungan pribadi. Masa
depan pertanian padi di Indonesia tetap relevan terutama dikaitkan dengan
konteks perubahan global. Ketersediaan stok di pasar internasional bukan
jaminan kebutuhan nasional terpenuhi.
Produksi beras dalam skala gobal ditentukan oleh banyak faktor yang sama sekali
di luar kendali kita. Yang mungkin dan mampu kita kendalikan adalah memperkuat
determinan ketersediaan beras dalam negeri. Ketimpangan akses terhadap lahan
dan persoalan alih fungsi lahan pertanian merupakan agenda panjang yang harus
dipecahkan bersama.
Daripada mengimpor beras, pemerintah lebih baik memperbaiki distribusi faktor
produksi, terutama tanah dan menata rel kebijakan agar sejalan dengan program
revitalisasi pertanian, untuk mensejahterakan petani.
=========
sebuah tulisan yang pernah dimuat di harian sinar harapan 22 des05
3 comments:
I questioned your implicit assumptions. Why should farmer continue to plan rice? Why should government have any policy to keep farmer planting rice? Why should Indonesian continue to eat rice?
The job of government is to provide most happiness/welfare to most people. If many farmers find it unprofitable to do so and switch to other profesion (at least their children) then it is their own choice. So is the less drastic action like switching to plant other items which give more profit (yes, farmer also want profit).
Lesson from industrialized countries is farming need to be organized industrially and efficiently, thus need less people to work on it. America & Dutch has about 5 % of population working as farmer yet they managed to become net exporter of agricultural product. Production efficiency, short path of distributions and post-production management capacity are lacking in Indonesia (I studied for one year at Bogor Agricultural Institute).
If there is anything government can do is to provide access to credit for farmer to buy technology "tepat guna," and technical assistance to the other two points. Even though the farmer themselves (with coop/NGO assistance if it help) can also get it without government. But the more important task of government is to provide sufficiently low cost-high quality education so that offspring of farmer can have more choices on future jobs. Also to provide good policy in other sector so current farmer can increase their welfare (yes, leaving farming) if they choose to do so.As much as many Indonesians dislike market mechanism and look up to government, I have yet to hear anyone pronounce that government should keep farmers and their offspring as farmer forever.
So what if the price of rice rises (keep in mind that allowing import keep price low)? There are substitutes to rice such as corn, potato, bread, salads, ketela (dont know English word for it), kimchi etc. Consumer will choose according to budget constraint and utility maximizations.
first, to answer the assumption issues, anyway it is the assumption that i want to challenge however the purpose of the writing was not that. i left it taken for granted but i will answer later. second, my question was on how and to what extent government should intervene and protect the farmers. i read your implicit assumption if farming in developed countries is succeed, it would have happened in developing countries (eg indonesia) but is it?? the fact that farmers from developed countrirs stay in agriculture because they are being subsidized. i ve talked to some farmers in Netherlands and their impression that the sector is not really profitable compared to past years. one of them has been resigned from being farmers. do you think our farmers have the concept of being resign?? i bet not. back to discussion, those support on agriculture has led to stuck Doha Round on WTO.
i dont say that they have to be farmers forever. the experiences in else where shows that their descendant seek other jobs. but my point is back to assumption that rice has been widely introduced in Indoneisa therefore it is government responsibility to support farmers who cultivate rice. consumers should also protected from the increase of price of staple of food however importing rice only benefit certain groups of class in society: traders, middlemen, political opportunist, member of parliament but not farmers. finally, if our dream to transfer experiences from europe to indonesian case, government should take side with farmers.
Thannks for this
Post a Comment